SELAIN KOMUNIKASI SOSIAL, GEREJA KATOLIK PEDULI MASALAH SOSIAL

                 Paus Paulus VI
Gereja sebagai umat Allah yang sedang berziarah nampak nyata dalam ajaran-ajaran sosial gereja. Gereja bukan saja soal gedung dan ritus tetapi merupakan umat itu sendiri dengan dinamika hidup masing-masing, di dalam relasi dan saling terhubung. Salah satu yang menjadi arah perhatian gereja ialah mereka yang "kecil" dan miskin, seperti kaum tani, butuh, nelayan, tukang ojek, pedagang kaki lima, tukang parkir, pemungut sampah dan pendorong gerobak. Kelompok ini menjadi orientasi pelayanan gereja Kristus sebagaimana Yesus mengatakan :  Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. (Matius 20:28, yang berbunyi: "Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang)". Pada bagian lain, Yesus mengatakan Dia datang untuk mencari domba yang hilang (perumpamaan Domba yang Hilang dalam Lukas 15:4-7 dan Matius 18:12-14); tugas menyelamatkan. 
Gereja memiliki keprihatinan akan masalah sosial. Tiga Ensiklik dapat kita kemukakan sebagai tindak lanjut keberpihakan gereja, berupa ajaran  Sri Paus yakni Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII, sebagai pedoman pertama, kemudian Ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI yang termahsyur dan terakhir, Ensiklik, Sollicitudo Rei Socialis oleh Paus Yohanes Paulus II.
Sollicitudo Rei Socialis
Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Sollicitudo Rei Socialis pada 30 Desember 1987. Dua tujuan ingin dicapai yakni, pertama, memberikan penghargaan atas dokumen historis Paus Paulus VI dan pengajarannya serta kedua, meneguhkan kembali kesinambungan dari ajaran sosial dan juga pembaharuannya yang tetap. Paus Yohanes Paulus II yakin, Populorum Progressio tahun 1967, tetap memiliki kekuatan sebagai sapaan pada hati nurani ditengah perubahan tata dunia yang sangat cepat. Latar belakang ajaran ini jelas : situasi kemiskinan dan keterbelakangan yang mencekam hidup jutaan manusia. Posisi gereja dengan ajarannya sebagai landasan,  mendesak bangsa-bangsa untuk saling menolong dalam suatu hukum perilaku moral. Antara lain, pembagian yang tidak merata dari sarana penghidupan (masalah distribusi sumber daya sekaligus distribusi manfaatnya-pen). Ada kesenjangan, disparitas yang cukup tajam antar orang dan antar bangsa sebagai satu fakta moral. Dan, gereja tidak bisa tinggal diam. Situasi itu agak negatif padahal manusia (seluruhnya) adalah citra Allah (Imago Dei). Kesenjangan antar wilayah, kesenjangan ekonomi, kesejahteraan, dan kesenjangan pendidikan menjadi isu keprihatinan gereja. Saat ini ada banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), meningkatnya jumlah orang miskin, kesulitan lapangan kerja, akses kesehatan yang tidak memadai, angka putus sekolah, ancaman kelaparan dan perang menjadi keprihatinan gereja. Ajaran ini begitu relevan, faktual dan kontekstual. Situasi ini dapat dianalisa dan  dijelaskan secara teologis bahwa banyak kenyataan kejahatan moral, banyak dosa. 
Gereja melihat manusia hidup dalam saling ketergantungan (interdependensi) yang menentukan hubungan dalam unsur ekonomi, budaya, politik dan religius yang diterima sebagai kategori moral. 
Paus Yohanes Paulus II lalu mengajukan SOLIDARITAS sebagai tanggapan korelatif sebagai suatubsikap moral dan sosial sebagai "suatu  kebajikan". Syarat dalam mengembangkan solidaritas jika, anggota-anggotanya saling menerima sebagai pribadi-pribadi. Mungkin kita dapat mengajukan contoh kebijakan Keuskupan Maumere melalui Badan Aksi Solidaritas yang mengetuk hati umat untuk berbagai dalam GESSER (Gerakan Solidaritas Seribu Rupiah). 
Paus memberikan tiga cara dalam kerja solidaritas : 1) yang mampu harus merasa bertanggung jawab atas yang lemah dan siap sedia berbagi, 2) yang lemah pun jangan pasif tetapi  aktif berbuat kebaikan pada semua orang seturut kemampuan, tidak destruktif, dan 3) kelompok-kelompok perantara hendaknya tidak melaksanakan kepentingan-keoentingannya sendiri, tetapi menghargai kepentingan-keoentingan orang lain. Kesalingtergsntungan (interdependensi) harus dibawa menjadi gerakan solidaritas secara internasional dengan asas, barang-barang ciptaan diperuntukkan bagi semua orang. Pada bagian ini, tentunya ajaran ini  hendak mencegah lahirnya imperialisme dan hegemoni dari seseorang atau sekelompok orang atau sebuah bangsa atas yang lain. Menurut Paus Yohanes Paulus II, usulan solidaritas merupakan jalan menuju perdamaian dan perkembangan, merujuk semboyan Paus Pius XII : Opus iustitae pax, perdamaian sebagai buah hasil keadilan dan sekarang dapat dikatakan : Opus Solidaritatis pax : perdamaian sebagai hasil buah solidaritas. Ajaran sosial gereja merujuk dari hukum tertinggi Kristus : cinta kasih. Paus Yohanes Paulus II secara cermat menilai sostem-sistem internasional dan mengajukan pembaharuan dalam sistem perdagangan internasional, pembaharuan sistem finansial dan moneter, pertukaran teknologi, serta  penataan kembali struktur organisasi internasional. 
Terkini, selain solidaritas mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan, masalah-masalah ekonomi dan politik dunia, diperlukann cinta kasih yang melahirkan solidaritas dalam menjaga dan merawat bumi sebagai rumah bersama (Laudato si-Paus Fransiskus) menjadi rangkaian keprihatinan sosial gereja hingga saat ini. Gereja akan terus bergerak dengan ajaran sosial dan keprihatinan terhadap masalah-masalah sosial. (eKRakit/Eman K Leti). 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

OMK Gelar Tablo, Air Mata Tumpah Di Ili

Guru-Guru Katolik Tiga Paroki Ziarah ke Paroki Ili

Menabur benih literasi di Paroki Ili, tindakan kecil menuju mimpi besar